Pemahaman terhadap Agama

Pemahaman terhadap Agama

Ada 3 hal penting yang sering disebut diperlukan oleh setiap seorang Mukmin yaitu iman, ilmu dan amal. Ketiga hal tersebut saling berkaitan dan harus dimiliki untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Untuk dapat beramal dengan benar, maka seseorang harus memiliki ilmu. Beramal tanpa ilmu akan menimbulkan banyak kerusakan. Sebagai contoh, seseorang yang tidak mengetahui hakikat puasa, maka dia berpuasa hanya menahan haus dan lapar saja, tidak menahan ucapan atau perbuatan keji yang dapat merusak ibadah puasa.

Umar bin Abdul Aziz pernah berkata: “Barang siapa yang beramal tanpa didasari ilmu, maka unsur merusaknya lebih banyak daripada mashlahatnya” (Sirah wa manaqibu Umar bin Abdul Azis, oleh Ibnul Jauzi).

Orang yang ikhlas beramal, tetapi tidak memiliki pemahaman yang benar dapat merusak amalannya dan bahkan dapat memberikan madhorot kepada orang lain. Rasulullah SAW pernah menyampaikan bahwa adalah orang yang sesat padahal mereka melaksanakan sholat, puasa, dan amalan lainnya yang sangat banyak.

Rasulullah SAW bersabda, “(Ada sekelompok kaum), mereka menganggap sholat yang dilakukan oleh kamu sangat kecil bila dibandingkan sholat mereka, dan puasanya dianggap lebih rendah dari puasa mereka. Mereka membaca Al Quran, tetapi tidak melampaui kerongkongan mereka.” (Fathul Bari 6/714).

Imam Ibnu Taimiyah berkata: “Meskipun sholat, puasa dan tilawah Quran mereka banyak, namun mereka keluar dari kelompok ahlus Sunah wal Jamaah. Mereka adalah kaum ahi ibadah, wara’ dan zuhud, tetapi itu semua tidak didasari dengan ilmu.”

Maksudnya mereka beribadah dan membaca Al Quran, tetapi amalan tersebut dilaksanakan hanya sebagai rutinitas, tanpa pemahaman terhadap apa yang dilakukan. Mereka memahami ibadah itu suatu perintah yang harus dilaksanakan tanpa memahami hikmah dibaliknya.

Terkadang pelaksanaan ibadah dibuat untuk rutinitas saja. Ada pelaksanaan sholat Jumat berjamaah dengan khutbah yang berisi nasihat dari beberapa ayat Quran dan doa yang sudah tertulis pada beberapa lembar kertas. Dan cara ini sudah dilakukan bertahun-tahun. Tentu saja sangat disayangkan jamaah yang sholat Jumat di masjid tersebut. Tidak ada nasehat atau taujih yang dapat dipahami dan amal yang dapat dilaksanakan.

Terdapat cerita nyata pada suatu perumahan dimana beberapa ibu rumah tangga terjerat hutang dengan rentenir yang memberikan pinjaman uang dengan bunga yang mencekik. Ternyata para rentenir terebut adalah ibu-ibu yang terlibat aktif dalam pengajian pekanan. Kisah ini menunjukkan bahwa kegiatan pengajian rutin yang dilaksanakan tidak memberikan dampak positif pada aktifitas muamalah yang dilakukan.

Keutamaan seseorang bukan didasarkan pada banyaknya ilmu, hafalan atau amalan, akan tetapi dilihat dari benar dan dalamnya pemahaman terhadap agama Islam secara menyeluruh. Oleh sebab itu, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Satu orang faqih itu lebih berat bagi setan daripada seribu ahli ibadah.” HR. Tirmidzi.

Sahabat Umar bin Khathab ra juga pernah berkata, “Kematian seribu ahli ibadah yang selalu sholat di waktu malam dan berpuasa di siang hari itu lebih ringan daripada kematian orang cerdas yang mengetahui halhal yang dihalalkan dan diharamkan oleh Allah.”

Bagusnya pemahaman terhadap agama mengalahkan faktor yang lainnya. Sebagai contoh, khalifah Umar bin Khathab ra pernah mengangkat sahabat Ibnu Abbas ra yang pada saat itu masih berusia 15 tahun untuk menjadi anggota majelis syuro. Umar bin Khathab ra menjulukinya sebagai “pemuda tua” karena ketinggian pemahamannya pada usia yang sangat muda.

Oleh karena itu berusahalah kita mendapatkan pemahaman yang benar terhadap Islam yaitu pemahaman yang jernih, murni, integral dan universal. Hal ini akan menyelamatkan kehidupan kita di dunia dan akhirat. Ibnul Qayyim pernah berkata,“Benarnya kepahaman dan baiknya tujuan merupakan nikmat terbesar yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Tiada nikmat yang lebih utama setelah nikmat Islam melebihi kedua nikmat tersebut. Karena nikmat itulah seseorang memahami Islam dan komitmen pada Islam. Dengannya seorang hamba dapat terhindar dari jalan orang-orang yang dimurkai, yaitu orang yang buruk tujuannya. Juga terhindar dari jalan orang-orang yang sesat, yaitu orang yang buruk pemahamannya, serta akan menjadi orang-orang yang baik tujuan dan pemahamannya.”

Wallahu a’lam.

Niat, Ikhlas, dan syukur

Niat

Niat itu merupakan pilar utama dalam ilmu ikhlas. Allah berfirman di dalam kitabnya, “Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru kepada Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya”. Niat adalah kecendrungan/kemauan kuat yang merupakan motivator bagi kekuatan. Jika suatu amal perbuatan dapat terealisasikan dengan dorongan niat, maka niat dan amal tersebut merupakan ibadah yang sempurna. Sebagai contoh, tujuan berzakat itu bukan untuk menghilangkan hak milik, melainkan untuk memusnahkan sifat kikir, yakni memotong sifat ketergantungan kita terhadap harta benda. Tujuan dari menyembelih hewan qurban bukanlah untuk daging dan darahnya, tetapi rasa ketakwaan hati dengan mengagungkan dan membesarkan syiar-syiar Allah SWT. Dari Umar bin Khattab ra, dia berkata : Aku mendengar Rasulullah saw bersabda ; “sesungguhnya segala pekerjaan itu (diterima/tidaknya di sisi Allah SWT) hanyalah tergantung niatnya. Dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang diniatkannya. Maka barang siapa hijrahnya kepada Allah SWT dan rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah SWT dan rasul-Nya, dan barang siapa hijrahnya untuk mendapatkan dunia atau wanita yang akan dia menikah dengannya, maka hijrahnya kepada apa yang diniatkan” [HR. Muttafaq’ Alaih]. Jika disimpulkan, niat adalah dasar dari segala perbuatan. Oleh karena itu, setiap perbuatan manusia diterima tidaknya disisi Allah SWT hanya sebatas niatnya, maka jika kita mengerjakan sesuatu dengan niatan murni karena Allah dan mengharapkan ridha-Nya insyaallah amal ibadah kita diterima. tetapi jika niatnya untuk selain Allah, maka pekerjaannya itu dapat menjadi bencana baginya.

Ikhlas

Ikhlas. Menurut Imam Al-Ghazali, ikhlas itu memiliki prinsip, hakikat, dan kesempurnaan. Prinsip ikhlas, adalah niat. Karena sesungguhnya di dalam niat itu terdapat keikhlasan. Sedangkan hakikat ikhlas adalah kemurnian niat. Dan kesempurnaan dari ikhlas adalah kejujuran. Di dalam surah Al-Bayyinah ayat 5 disebutkan, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada Nya dengan lurus”. Ikhlas merupakan sifat yang sangat agung. Suatu rahasia dari rahasia-rahasia yang dititipkan hanya di qalbu para hamba yang dicintai-Nya. Ikhlas adalah tingkat ihsan, yang meyakini sekalipun dirinya tidak dapat melihat Allah, tetapi Allah dapat melihat segala yang ia kerjakan. Ia meyakini Allah selalu bersamanya dimanapun ia berada. Ikhlas itu tidak pernah memandang, menghitung-hitung apa-apa saja yang telah ia perbuat, tidak mengharapkan imbalan/balasan, tidak membutuhkan pengakuan atas dirinya, hawa nafsunya, apalagi orang lain. “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa dan kekayaan kalian, tetapi Allah melihat kepada qalbu dan amalan-amalan kalian.” (HR. Imam Muslim)

Syukur

Syukur. Allah SWT berfirman, “Dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari nikmatku”. Menurut Imam Al-Ghazali, syukur itu memiliki kedudukan yang tinggi. Kedudukan syukur lebih tinggi dari sabar, khauf, zuhud, dan maqam-maqam lainnya. Sebab, maqam-maqam lainnya tidak ditujukan untuk diri sendiri, melainkan untuk orang lain. Sabar misalnya, ditujukan untuk mengalahkan hawa nafsu. Khauf, ditujukan sebagai cambuk bagi orang-orang yang takut dan menggiringnya menuju maqam-maqam yang terpuji, dan zuhud merupakan sikap yang melepaskan diri dari ikatan-ikatan hubungan yang bisa melupakan Allah SWT. Sedangkan syukur itu dimaksudkan untuk diri sendiri, karenanya ia tidak terputus di dalam surga. Sedangkan maqam-maqam lainnya, tidak ada lagi di surga, karena telah habis masa berlakunya. Sedang syukur kekal di dalam surga. Itulah mengapa Allah berfirman ; “Dan penutup doa mereka (penghuni surga) ialah,  ‘Al-hamdlillahirab al-Alamin’ (segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam)” [QS Yunus:10]. Imam Ghazali berkata, setiap orang akan mengetahui hal tersebut, jika telah memahami hakikat tentang syukur.